Selama ini kita cenderung melihat ‘Ĩdul-Fithri ibarat melihat permukaan sungai, sehingga hanya bisa melihat benda-benda ringan yang mengambang di permukaan air. Kita jarang – atau mungkin belum pernah – melihat benda-benda yang lebih berat yang mengapung di bawah permukaan. Padahal, siapa tahu yang hanyut di permukaan itu hanyalah sampah, sedangkan yang ada di bawah permukaan adalah benda-benda yang lebih berharga.
Permukaan ‘Ĩdul-Fithri adalah pesta; sebagaimana pengertian kata ‘ĩd dalam bahasa dan budaya Arab adalah pesta. Dalam konteks pesta itulah, kata al-fihtru (ajaibnya!) dianggap sama dengan al-futhûr, yang artinya – dalam budaya Arab – sama dengan sarapan alias makan pertama di pagi hari, atau mengakhiri puasa. Karena itu, ada orang Indonesia yang mengartikan ‘Idul-fithri sebagai “Hariraya Berbuka”. Bahkan ada pula yang mengartikan (hariraya) “Kembali Makan”; dengan alasan ‘ĩd berarti “kembali”, al-fihtru = al-futhûr = “makan”.
Dengan demikian, ‘Ĩdul-Fithri adalah pesta atau bersuka-ria karena dibebaskan untuk kembali makan dan minum (sesuka hati!).
Karena itulah, pada hariraya ‘Ĩdul-Fithri makanan dan minuman melimpah ruah, sampai banyak yang terbuang.Bahkan silaturrahmi pun dilakukan dengan cara saling tukar dan kirim-kiriman makanan. Belakangan, seiring masuknya budaya Barat, kirim-kiriman makanan yang dulu hanya dilakukan dengan rantang dan keranjang sederhana pun diubah ke dalam bentuk parcel (paket = bungkusan). Tapi harap diingat bahwa yang belakangan ini (kirim-kiriman parsel) hanya berlaku di kalangan menengah ke atas, dan tujuannya kadang melenceng jadi semacam cara menjilat, menyogok, dan sebagainya.